Busana Permaisuri
Bukti arkeologis berupa ragam motif anyam pada tembikar memberi petunjuk bahwa nenek moyang kita sudah memiliki kepandaian menganyam. Pengetahuan anyam-menganyam inilah yang kelak menjadi dasar pengetahuan menenun atau membuat kain. Bahan-bahan anyaman terdiri atas serat tumbuhan atau tanaman, seperti serat rami dan serat pohon pisang. Agar menarik, serat-serat ini diberi pewarnaan atau pencelupan, yang juga berasal dari tumbuhan atau mineral alam. Proses penenunan dan pewarnaan tersebut masih dilakukan secara konvensional.
Di antara prasasti-prasasti itu, ada yang lebih “khusus” menginformasikan tekstil, yakni kata wdihan (pakaian pria) dan kain atau ken (pakaian wanita). Prasasti-prasasti itu berasal dari abad ke-9 dan ke-10 Masehi. Selain itu dijumpai kata kalambi (pakaian atas) dan singhel (pakaian khusus untuk golongan pendeta, terbuat dari kulit kayu). Kitab Tantu Panggelaran menginformasikan, singhel dibuat dari daun lalang, daluwang, atau babakaning kayu.
Busana Raja
Mahabhusana Rajakaputran Wilwatiktapura
Kerajaan yang mencapai masa jaya pada era Raja Hayam Wuruk pada 1350 – 1389 ini memiliki pakaian kebesaran bernama Mahabhusana Wilwatiktapura.
Busana Mahabhusana Rajakaputran Wilwatiktapura, terdiri dari Makuta, Sumping, Kundala, Kalung, Upawita, Udarabandha, Uncal, Katibandha, Kilatbahu, Gelangkana, Kalpika, Binggel, Nupura, Sampet, Kampuh, Sinjang, Sabuk, Sasampur dan Gamparan.
Busana Permaisuri
Mahabhusana Rajakaputrian Wilwatiktapura
Sedangkan pakaian yang dikenakan permaisuri kerajaan Majapahit disebut Mahabhusana Rajakaputrian Wilwatiktapura, yang terdiri dari Makuta, Sumping, Kundala, Karah, Kalung, Upawita, Udarabandha, Uncal, Katibandha, Kilatbahu, Gelangkana, Kalpika, Binggel, Nupura, Sampet, Wastra, Kampuh, Sinjang, Sabuk, Sasampur dan Gamparan.
Busana Rakyat
Bhusana Gagampang
Tidak hanya raja dan permaisuri, rakyat di kerajaan Majapahit juga punya pakaian yang biasa dikenakan sehari-hari, bernama Bhusana Gagampang. Laki-laki dan perempuan punya corak dan detail aksesoris yang berbeda.
Laki-laki mengenakan Bhusana Gagampang Putra yang terdiri dari Gelung Cacandyan, Suweng, Kalung, Kilatbahu, Gelangkana, Binggel, Sinjang, Sabuk, Gamparan.
Sedangkan perempuan mengenakan Bhusana Gagampang Putri yang terdiri dari Gelung Kekendon, Suweng, Kalung, Gelangkana, Binggel, Kampuh dengan Sampir, Sinjang dan Gamparan.
Tata Rias Rakyat
Pahyas Wilwatiktapura
“Rambut wanita ini disanggul tetapi tidak menggunakan tusuk konde atau ornamen semacamnya.” (Berita Cina)
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh drg. Bambang Samodra dan Ade Satrio Prastyanto dalam purimajapahit. Tata rias jaman kerajaan Majapahit disebut Pahyas Wilwatiktapura.
Tata rias pada zaman Majapahit ini pada bagian wajah terdiri dari Pupur Menur (bedak dari bunga melati), Halis Luncip Candra Tanggal (bentuk alis seperti bulan sabit), Tilaka (tanda di dahi) dan Sipat Pupus Padu (garis kelopak mata yang berpadu di sudut mata).
Pahyas Wilwatiktapura
Kemudian, ada Cecek Kembang ing Hawu (hiasan berbentuk bunga dari abu pada pelipis), Lati Aruna (pewarna bibir merah kecoklatan), Jenu Kanaka (bedak keemasan), Wida Kusuma (bedak dari bunga-bungaan) dan Sekartaji (hiasan bunga pada telinga).
Lalu pada bagian rambut terdiri dari Wahel Salaga ning Menur (untaian bunga melati pada rambut), Tajuk Anggrek Sasangka (hiasan bunga anggrek bulan), Gelung Kekendon (gelung miring kiri untuk wanita), serta Gelung Cacandyan (gelung mengerucut di ubun-ubun menyerupai candi).
Sumber: kelananusantara | kompasiana